Minggu, 11 Juli 2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Ilmu tauhid atau biasanya disebut juga ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan Salaf dan Ahli Sunnah.

Ilmu tauhid ini juga mempunyai beberapa nama lain, yaitu ilmu kalam yang di dalamnya mempelajari Kalam Allah, ilmu ushuluddin yang membahas tentang prinsip-prinsip agama Islam, dan juga ilmu aqidah atau ilmu aqo’id yang membicarakan tentang kepercayaan Islam.

Seseorang tidak akan memahami ilmu tauhid secara utuh, kalau tidak mempelajari faktor-faktor atau sebab-sebab yang mendorong timbulnya ilmu tauhid. Sebab ilmu tauhid sebagai ilmu yang berdiri sendiri, belum dikenal pada masa Nabi sendiri maupun pada masa Sahabat. Maka dari itu, dalam makalah ini kami akan membahas sebab-sebab munculnya ilmu tauhid, yaitu sebagai pengantar untuk memahami ilmu tauhid secara utuh.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Apa saja sebab munculnya ilmu kalam?

b. Bagaimana kaitan sebab munculnya ilmu kalam dengan keberadaan ilmu kalam pada masa nabi dan sahabat ?

C. Tujuan Penulisan

Sedangkan tujuan penulisan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui :

a. Apa saja sebab munculnya ilmu kalam

b. Bagaimana kaitan sebab munculnya ilmu kalam dengan keberadaan ilmu kalam pada masa nabi dan sahabat

BAB II

ILMU KALAM PADA MASA NABI DAN SAHABAT

A. Sebab-Sebab Munculnya Ilmu Kalam

Secara garis besar, sebab munculnya ilmu kalamdapat dibagi ke dalam dua bagian, yaitu:

1. Sebab-Sebab dari Dalam (Intern)

Adapun sebab-sebab munculnya ilmu tauhid yang datang dari dalam (intern) adalah sebagai berikut:

a. Al-Qur’an itu sendiri,

Di samping ajakannya ke pada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang pada masa Nabi Muhammad SAW yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Al-Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasannya, antara lain:

- Al-Qur’an membantah golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja. Firman Allah SWT:

(#qä9$s%ur $tB }Ïd žwÎ) $uZè?$uŠym $u÷R9$# ßNqßJtR $uøtwUur $tBur !$uZä3Î=ökç žwÎ) ã÷d¤$!$# 4 $tBur Mçlm; y7Ï9ºxÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ ( ÷bÎ) öLèe žwÎ) tbqZÝàtƒ ÇËÍÈ

Artinya: “Dan mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (QS. Al-Jatsiyah: 24).

- Al-Qur’an membantah golongan orang syirik yang menyembah bintang, bulan, matahari, yang mempertuhankan Nabi Isa dan ibunya, dan yang menyembah berhala-berhala.

Allah membantah alasan-alasan mereka dan perkataan-perkataan mereka semua dan juga memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk tetap menjalankan da’wahnya sambil menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya dengan menggunakan cara yang halus. [1]

b. Ketika kaum muslimin selesai membuka negara-negara baru untuk masuk Islam, mereka mulai tentram dan tenang pikirannya, di samping melimpahnya rizqi.

Di sinilah mulai mengemukakan persoalan agama dan berusaha mempertemukan nash-nash yang kelihatannya saling bertentangan. Keadaan ini adalah gejala umum bagi tiap-tiap agama bahkan pada tiap-tiap masyarakat pun terdapat gejala itu. Pada mulanya agama itu hanyalah merupakan kepercayaan-kepercayaan yang kuat dan sederhana, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan. Penganut-penganutnya menerima bulat-bulat apa yang diajarkan agama, kemudian dianutnya dengan sepenuh hatinya tanpa memerlukan penyelidikan dan pemilsafatan.

Setelah itu, datanglah fase penyelidikan dan pemikiran serta membicarakan soal-soal agama secara filosofis. Di sinilah kaum muslimin mulai memakai filsafat untuk memperkuat alasan-alasannya. Keadaan yang sama juga dialami oleh golongan-golongan agama lainnya, seperti Yahudi dan Nasrani.

c. Masalah-masalah politik.

Sebagai contoh, ketika Rasulullah SAW meninggal dunia, beliau tidak mengangkat seorang pengganti dan tidak pula menentukan cara pemilihan penggantinya. Ketika itu, antara sahabat Muhajirin dan Anshar terdapat perselisihan, masing-masing menghendaki supaya pengganti Rasul dari pihaknya. Di tengah kesibukan itu, Umar bin Khattab r.a mem-bai’at Abu Bakar r.a menjadi khalifah yang kemudian diikuti oleh Sahabat-Sahabat lainya. Abu Bakar kemudian mengambil cara lain dengan cara menyerahkan khilafah kepada Umar bin Khattab, Umar bin Khattab pun mengambil cara lain lagi, yaitu dengan menyerahkan khilafah ke pada pengikutnya dan pilihan pengikutnya itu jatuh ke pada Usman bin Affan r.a.

Sebenarnya khilafah itu adalah soal politik. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin untuk mengambil bentuk khilafah tertentu, tetapi hanya memberikan dasar yang umum, yaitu kepentingan umum. Kalau terjadi perselisihan dalam soal ini, maka perselisihan itu adalah soal politik semata-mata. Akan tetapi, tidak demikian halnya pada masa itu. Ditambah lagi dengan peristiwa terbunuhnya Usman bin Affan dalam keadaan gelap. Sejak itu kaum muslimin terpecah menjadi beberapa kelompok, yang masing-masing sebagai pihak yang benar dan hanya calon daripadanya yang berhak menduduki pimpinan Negara. Kemudian golongan-golongan itu menjadi golongan agama dan menemukan dalil-dalil agama untuk membelanya, dan selanjutnya perselisihan antara mereka menjadi perselisihan agama, dan berkisaran pada soal iman dan kafir.

Dari sinilah mulai timbulnya persoalan besar yang selama ini banyak memenuhi buku-buku ke-Islaman, yaitu melakukan kejahatan besar yang mula-mula dihubungkan dengan kejadian khusus, yaitu pembunuhan terhadap Usman bin Affan, kemudian beransur-ansur menjadi persoalan yang umum. Lepas dari pesoalan siapa orangnya yang membunuh, kemudian timbul soal-soal lainnya, seperti soal iman dan hakikatnya, bertambah atau berkurangnya, soal imamah dan lain-lain. [2]

2. Faktor dari Luar (Ekstern)

Adapun sebab-sebab dari luar (extern) munculnya ilmu tauhid adalah sebagai berikut:

a. Kebanyakan di antara pemeluk-pemeluk Islam sesudah pengalahan kota Makkah, adalah orang-orang yang sudah menganut agama dan terdidik dan dibesarkan dalam agama itu, dan bahkan menjadi ulama-ulamanya.

Setelah mereka merasa aman dari tekanan kaum muslimin mulailah mereka mengkaji lagi akidah-akidah mereka dan mengembangkannya di dalam akidah Islam. Karenanya banyak kita temukan dalam kitab-kitab yang disusun oleh partai partai atau golongan tertentu yang kita pandang Islam, pendapat-pendapat ataupun prinsip-prinsip yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam, seperti Mazhab Tanasukh (inkarnasi) yang sebenarnya berasal dari kaum Hindu dan seperti menetapkan sesuatu hukum ke-Tuhanan bagi Al-Masih yang berasal dari akidah Nasrani dan ke-Tuhanan Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, Husain serta mengatakan bahwa kelima mereka itu adalah satu. Ruh yang menghinggapi mereka adalah sama. Inilah salah satu contoh akidah Nasrani.

b. Golongan Islam yang dulu, memusatkan perhatiannya untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam.

Mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya kalau mereka itu sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya tersebut berserta dalil-dalilnya. Dengan demikian, mereka harus menyelami pendapat-pendapat tersebut, dan akhirnya Negara Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat dan bermacam-macam agama, hal mana yang bisa mempengaruhi masing-masing pihak yang bersangkutan. Salah satu seginya yang terang ialah penggunaan filsafat sebagai senjata kaum muslim.[3]

B. Kaitan Munculnya Ilmu Kalam Dengan Keberadaan Ilmu Kalam Pada Masa Nabi dan Sahabat

Dari perjalanan sejarah yang dialami umat Islam, jelas bahwa mulai unculnya aliran kalam yang sebenarnya bukan pada masa nabi dan para sahabat (Khulafaurrasyidin), namun cikal bakal/bibit akan adanya perbedaan-perbedaan antara umat Islam terjadi sejak Rasulullah wafat dan beliau tidak menunjuk siapa pengganti beliau sebagai pemimpin agama ini.

Ilmu tauhid atau bisa juga disebut dengan ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang berdiri sendiri yang belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, maupun pada masa Sahabat-Sahabtnya. Akan tetapi, baru dikenal pada masa berikutnya setelah ilmu-ilmu ke-Islaman yang lain satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan tentang kepercayaan alam ghaib (metafisika).

Kalau dilihat secara sejarah, faktor utama terjadinya aliran Kalam merupakan adanya pergolakan politik antara umat Islam dalam menentukan pengganti Rasulullah sebagai pemimpin pengganti beliau. Dalam mempertahankan argumen kelompok masing-masing mereka menghimpun dan membuat perkumpulan-perkumpulan yang akhirnya membentuk sebuah organisasi yang pada gilirannya menjadi aliran kalam karena yang dibahas pada perkumpulan tersebut berkisar pada masalah ketuhanan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari perjalanan sejarah yang dialami umat Islam, jelas bahwa mulai unculnya aliran kalam yang sebenarnya bukan pada masa nabi dan para sahabat (Khulafaurrasyidin), namun cikal bakal/bibit akan adanya perbedaan-perbedaan antara umat Islam terjadi sejak Rasulullah wafat dan beliau tidak menunjuk siapa pengganti beliau sebagai pemimpin agama ini.

Ilmu tauhid atau bisa juga disebut dengan ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang berdiri sendiri yang belum dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW, maupun pada masa Sahabat-Sahabtnya. Akan tetapi, baru dikenal pada masa berikutnya setelah ilmu-ilmu ke-Islaman yang lain satu persatu muncul dan setelah orang banyak membicarakan tentang kepercayaan alam ghaib (metafisika).

B. Saran

Mudah-mudahan setelah mempelajari Ilmu Kalam yang membahas masalah Ilmu Kalam pada masa Nabi dan Sahabat ini bisa diambil pelajaran di dalamnya sehingga dengan ini tidak ada lagi perpecahan dan perselisihan antara sesama muslim, maka jadilah kita muslim yang kuat dan tidak terpengaruh bisikan dari luar Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Amat Zuhri, Warna-warni Teologi Islam (Ilmu Kalam). Pekalongan: STAIN Press. 2008.



[1]Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, Hal. 35.

[2][2]Amat Zuhri, Warna-warni Teologi Islam (Ilmu Kalam). Pekalongan: STAIN Press. 2008, hal. 94.

[3]Ibid., hal. 103-104.

OTONOMI DAERAH

Pendahuluan

Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom yadalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.

Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

  1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
  2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan. [1]

Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II)[2]dengan beberapa dasar pertimbangan[3]:

  1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
  2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
  3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.

Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

  1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
  2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
  3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju

[sunting] Aturan Perundang-undangan

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah:

  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
  2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
  3. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  5. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  6. Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
  7. Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

[sunting] Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru

Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[4] Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]

Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:

  1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;[6]
  2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;[7] dan
  3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.[8]

Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri,[9] untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,[10] dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.[11]

Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan),[12] dan kewajiban seperti a) mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.[13]

Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.

[sunting] Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru

Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu[14]:

  1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
  2. pembentukan negara federal; atau
  3. membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.

Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :

  1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
  2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
  3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
  4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
  5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
  6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
  7. Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.[15]
  8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
  9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
  10. Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
  11. Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
  12. Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
  13. Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
  14. Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
  15. Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

[sunting] Referensi

  1. ^ UUD 1945 pasal 18 ayat 2
  2. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kedua, Pasal 11
  3. ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
  4. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf c
  5. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf e
  6. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf b
  7. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf f
  8. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab I, Pasal 1, huruf d
  9. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 15(1) dan Pasal 16(1)
  10. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 1, Pasal 17
  11. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Kelima, Paragrap 2, Pasal 22 dan Pasal 23
  12. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 29
  13. ^ UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, Bab III, Bagian Ketujuh, Paragrap 2, Pasal 30
  14. ^ Kuncoro (2004), Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
  15. ^ UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Bab III, Pasal 18(4)